Oleh:
Suhardi
Abstrak: Guru
dituntut selalu meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga menjadi lebih
profesional. Salah satu cara yang efektif adalah dengan menggerakkan guru untuk
aktif melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini bermula dari
identifikasi masalah yang dialami guru ketika mengajar di kelas. Pemecahan
masalah itu berupa pemberian tindakan yang terencana, sistematis, dan terukur
untuk mem-perbaiki hasil dan proses pembelajaran itu. Tindakan itu berupa
program pembelajaran yang diikhtiarkan untuk menghasilkan perbaikan.
Kata Kunci:
penelitian tindakan kelas, perencanaan, tindakan, observasi, refleksi
Abstract: Teachers
are required to improve the quality of learning in order to become more
professional. One effective way to do this is by generating a movement to
actively engage teachers in doing classroom action research (CAR). To do this
research, firstly, the researcher must identify problems that teachers
experience when teaching in the classroom. Secondly, the problem must try to be
solved by applying well-planned, systematic, and measurable actions, intended
to increase the learning outcomes and learning process. The actions are in the
form of programs which are intended to create improvements in learning.
Keywords:
classroom action research, planning, action, observation, reflection
PENDAHULUAN
Setelah
sekian lama PTK berkembang di dunia pendidikan, ternyata masih ada pandangan
yang meremehkannya. Celakanya, pandangan itu justru berasal dari para guru
sendiri. Sebagian guru menganggap PTK tak lebih dari penelitian berskala
sempit, sebab proses dan hasilnya hanya sebatas bermanfaat di lingkungan kelas
sendiri. Temuan-temuan PTK tidak bisa digeneralisasi un-tuk diterapkan pada
lingkungan yang lebih luas di luar kelas. Sehingga PTK disebut sebagai
penelitian individualistik/egoistik, yang hanya berguna bagi guru itu sendiri
sebagai peneliti.
Proses
sosialisasi PTK kepada para guru yang selama ini dilakukan oleh berbagai pihak
pun turut membentuk opini negatif mengenai PTK. Selama ini pelatihan-pelatihan
PTK yang diseleng-garakan oleh dinas pendidikan, LPMP, maupun LPTK/IKIP
cenderung menggaungkan bahwa PTK sebagai sarana untuk naik pangkat/ golongan
bagi guru PNS, dan sarana memperoleh nilai tinggi dalam sertifikasi.
Pelatihan-pelatihan itu kadang-kadang juga diarahkan untuk mengikuti lomba
penulisan karya ilmiah guru atau inovasi pembelajaran yang diada-kan oleh dinas
pendidikan atau LPMP. Cara-cara sosialisasi PTK seperti inilah yang mem-bentuk
opini di kalangan guru, bahwa PTK hanya sekadar bermanfaat pragmatis.
Fenomena itu
menunjukkan bahwa belum semua guru memahami arti penting PTK. Jika digali lebih
jauh ke akar penyebabnya, persepsi negatif itu disebabkan oleh belum
benar-benar dipahami-nya hakikat PTK dan fungsi strategisnya dalam mereformasi
dunia pendidikan di Indonesia.
Seharusnya
guru memahami cara-cara yang dilakukan pihak pemberi pelatihan itu sebagai
sebatas motivasi agar guru tergerak untuk melakukan PTK. Di balik motivasi yang seolah mengede-pankan tujuan pragmatis itu
sesungguhnya mengarah kepada manfaat jangka panjang bagi pengembangan profesi
guru. Sebab, PTK merupakan salah satu sarana utama dalam upaya meningkatkan
profesionalitas guru. Untuk memahami ini kita perlu mengurai satu per satu
posisi dan tanggung jawab guru.
Sejak Undang-undang No-mor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen berlaku, resmilah status guru diakui sebagai sebuah
profesi. Pada Bab 1 Pasal 1 ayat 1 dalam undang-undang tersebut jelas
dinyatakan bahwa, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Dengan adanya undang-undang
tersebut, konsekuensi orang yang bekerja sebagai guru adalah harus memenuhi
kualifikasi profesional. Sebagaimana disebutkan dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 4
undang-undang tersebut, bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan
yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang me-merlukan
keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma
tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Kedua
ayat tersebut jelas memastikan status dan kedudukan guru sebagai profesi dengan
segala hak dan tanggung jawab yang melekat pada profesi tersebut. Guru berhak
memperoleh sumber penghidupan yang layak dari profesinya. Sebaliknya, guru
wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab profesinya
menurut standar kualifikasi tertentu.
Terbitnya UU Guru dan Dosen
menyaratkan profesi guru hanya boleh diduduki lulusan S-1. Bahkan ketika mulai
diadakan program sertifikasi sejak tahun 2006, guru selain harus memiliki
ijasah S-1 juga harus memiliki Sertifikat Pendidik. Sertifikat Pendidik
merupakan tanda bahwa guru sah dan layak disebut sebagai pendidik, sebagaimana
lulusan sarjana kedokteran dinyatakan sah berpraktik sebagai dokter jika
memiliki sertifikat profesi kedokteran.
Di sisi lain, upaya pengembangan
profesi guru diimbangi pula oleh pemberian remunerasi yang semakin hari semakin
diperhatikan Pemerintah. Guru-guru yang telah tersetifikasi berhak mendapat
tunjangan profesi pendidik (TPP) sebesar satu kali gaji pokoknya. Sementara
itu, sambil menunggu giliran, guru-guru yang belum tersertifikasi juga mendapat
tambahan pendapatan.
Dari waktu ke waktu akan terjadi peningkatan kualifikasi dan
kompetensi guru. Namun, pada saat yang sama juga akan ditingkatkan penghargaan
atas jasa-jasa pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya. Diagram berikut ini
menggambarkan proses itu secara berkelanjutan.
Apa arti ini semua?
Artinya adalah guru harus selalu
meningkat kualifikasi dan kompetensinya agar dapat menjawab tantangan perubahan
zaman. Upaya-upaya ke arah itu telah dengan jelas ditunjukkan oleh Pemerintah.
Sekarang tinggal para guru sendiri dalam menyikapi tuntutan
perubahan/perkembangan itu. Tentu tidak cukup jika para guru tinggal duduk
berpangku tangan, alias tidak mau berubah. Padahal di tangan para gurulah kunci
kemajuan pendidikan di negara kita.
Pengembangan Keprofesian
Berkelanjutan (PKB)
Sudah jelas kiranya, bahwa
kompetensi guru harus selalu ditingkatkan. Peran aktif setiap guru dalam upaya
mengembangkan dirinya menjadi suatu kebutuhan. Bukan saatnya lagi guru pasif
berdiam diri berlindung di balik dinding-dinding kemapanan sebagai pegawai.
Guru harus aktif meningkatkan kompetensi dirinya dalam mengemban profesi.
Perangkat
aturan yang mendorong agar guru selalu mengembangkan profesinya pun sudah
jelas. Dalam hal ini, Kepmenpan Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya
menjadi acuan. Aturan yang efektif diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2013 itu
lebih memacu guru dalam pengembangan profesi, antara lain karena guru dituntut
harus menghasilkan karya tulis ilmiah sejak mengajukan kenaikan pangkat ke
III.C.
Dalam Permenpan tersebut dinyatakan
bahwa kegiatan yang harus dilakukan guru dalam mengemban profesinya terdiri
atas (1) kegiatan utama dan (2) kegiatan penunjang. Kegiatan utama meliputi (a)
pendidikan, (b) pembelajaran/pembimbingan dan tugas tambahan dan/atau tugas
lain yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah, dan (c) pengembangan
keprofesian berkelanjutan (PKB). Pengembangan keprofesian berkelanjutan adalah
pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,
bertahap, berkelanjutan untuk meningkatkan profesionalitas guru.
Kegiatan pengembangan keprofesian
berkelanjutan meliputi kegiatan (i) pengembangan diri, (ii) membuat publikasi
ilmiah, dan (iii) membuat karya inovatif. Untuk mengembangkan dirinya, guru
dapat ikut serta dalam berbagai kegiatan pendidikan dan latihan fungsional,
serta keikutsertaan dalam kegiatan kolektif guru dalam rangka meningkatkan
kompetensi dan/atau keprofesian guru. Publikasi Ilmiah yang dapat dilakukan
guru antara lain meliputi publikasi ilmiah atas hasil penelitian atau gagasan
inovatif pada bidang pendidikan formal, penerbitan buku teks pelajaran, buku
pengayaan, dan pedoman guru. Karya inovatif yang diharapkan dihasilkan para
guru meliputi penemuan teknologi tepat guna, menciptakan karya seni,
membuat/memodifikasi alat pelajaran/peraga/ praktikum, dan mengikuti
pengembangan penyusunan standar, pedoman, soal dan sejenisnya.
Sedangkan
kegiatan penunjang yang dapat dianggap sebagai bagian dari tugas keprofesian
guru meliputi (a) mengikuti pendidikan sehingga memperoleh gelar/ ijazah
walaupun tidak sesuai dengan bidang yang diampunya, (b) memperoleh penghargaan/tanda
jasa, dan (c) melaksanakan kegiatan yang mendukung tugas guru, antara lain
membimbing siswa dalam praktik kerja nyata/ praktik industri/ekstrakurikuler
dan sejenisnya, mengikuti organisasi profesi/kepramukaan, menjadi tim penilai
angka kredit, dan/atau menjadi tutor/pelatih/ instruktur.
Uraian isi Permenpan tersebut dapat digambarkan dengan diagram
berikut ini.
Lalu, di manakah posisi penelitian
tindakan kelas (PTK) dalam keseluruhan tugas guru dalam menjalankan profesinya?
PTK adalah salah satu kegiatan penelitian yang dilakukan oleh guru alam rangka
melakukan perbaikan pembelajaran di kelasnya. Hasil PTK tersebut dapat
dipublikasikan dalam forum ilmiah, misalnya seminar dalam MGMP. Hasil PTK juga
dapat disusun sebagai artikel untuk dimuat dalam jurnal ilmiah. Oleh karena
itu, PTK dapat digolongkan seba-gai kegiatan publikasi ilmiah.
Dengan melihat bagan di atas, arti
penting PTK dalam proses pengembangan profesi guru menjadi jelas bagi kita
semua. Ternyata kedudukan PTK merupakan bagian dari pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB). Sementara itu, PKB merupakan bagian dari kegiatan utama
yang harus dilakukan guru dalam me-laksanakan tugasnya. Itulah manfaat jangka
panjang PTK dalam upaya pengembangan profesi guru.
Beberapa pakar penelitian telah
mengungkap berbagai manfaat PTK, di antaranya Subyantoro (2009), dan Sukidin,
dkk. (2008). Jika pendapat mereka diramu maka dapat disimpulkan empat manfaat,
yaitu (1) menumbuhkan kemampuan refleksi; (2) meningkatkan profesionalitas; dan
(3) memperbaiki proses pembelajaran.
Refleksi
adalah kegiatan perenungan atau peninjauan kembali atas apa yang telah
dilakukan, sehingga diperoleh cara-cara baru untuk melakukan pembelajaran yang
lebih baik pada masa-masa mendatang. PTK membuat guru menjadi suka
melakukan refleksi terhadap pengalaman mengajarnya demi perbaikan cara-cara
mengangar di masa datang.
Salah satu ciri guru profesional
adalah selalu memperbaiki kualitas pelaksanaan tugasnya. Berbagai langkah
inovasi perlu dilakukan untuk memperbaiki cara mengajar agar lebih baik. Di
sinilah PTK memegang peran penting, karena guru mengidentifikasi permaslahan
yang terjadi di kelasnya, lalu mencari jalan keluar perbaikannya.
Langkah-langkah PTK pada dasarnya
adalah upaya perbaikan proses pembelajaran yang telah dilakukan. Pengalamana
mengajar yang kurang berhasil diperbaiki dalam langkah berikutnya dengan
menerapkan cara-cara baru (inovatif ). Hasil perbaikan setiap pembelajaran
diamati dan dievaluasi untuk mengetahui keefektifannya. Jika langkah yang
dicobakan terbukti efektif, maka guru memperoleh pengalaman langsung sebagai
masukan untuk memperbaiki cara mengajarnya.
PTK dapat digambarkan dengan
peribahasa ‘sambil menyelam minum air’. Sambil melaksanakan tugas rutin
sehari-hari, guru melakukan penelitian. Proses penelitian itu sendiri
terintegrasi dalam proses pembelajaran, sehingga pembelajaran tidak terganggu
dan penelitiannya berlangsung.
Sampai di sini, hendaknya kita
menyadari pentingnya upaya masing-masing guru untuk selalu mengembangkan
profesinya, antara lain dengan menulis PTK. Dengan melakukan PTK, maka guru
akan banyak membaca literatur (sehubungan dengan Kompetensi Dasar yang
diteliti). Jika setiap kali menyusun PTK guru minimal menggunakan 10 literatur
(buku, jurnal, artikel) sebagai sumber kajian pustaka, maka guru sudah
melakukan proses belajar yang cukup ekstensif dan intensif. Apalagi literatur
yang dibaca harus terbaru (sepuluh tahun terakhir terbit). Dengan sendirinya
guru telah meng-up date pengetahuannya dalam hal pembelajaran/penguasaan
materi sehubungan dengan topik yang diteliti.
Tidak hanya sekadar memperbanyak
bacaan, melakukan PTK juga membuat guru mengasah berbagai kompetensi ilmiahnya.
Pertama, guru akan mampu merumuskan konsep berpikir berdasarkan hasil kajian
pustaka. Kedua, guru melakukan proses pengumpulan data dan mengolahnya menjadi
simpulan. Ketiga, guru belajar memecahkan masalah yang dihadapinya di kelas
dengan dasar hasil penelitian, bukan berdasarkan perasaan dan perkiraan semata.
Keempat, guru harus menuliskan hasil PTK dalam bentuk karya tulis ilmiah
(makalah/artikel ilmiah/artikel populer) dan kalau perlu juga mempresentasikan
hasil penelitiannya dalam forum deseminasi (misalnya di depan pertemuan MGMP).
Keempat kompetensi itu sangat
mendukung peningkatan profesionalitas guru dalam mengemban tugasnya. Oleh
karena itu, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa PTK dapat menjadi penopang
utama pengembangan profesi guru. Pengembangan profesi guru seharusnya menjadi
bagian dari kebutuhan guru, bukan beban tugas keprofesian semata. Sebab di
tangan gurulah baik buruknya dunia pendidikan di negara kita. Semakin
profesional guru dalam mengemban tugas dan tanggung jawabnya, semakin meningkat
pula kualitas pendidikan di negara kita. Dengan pendidikan yang berkualitasa
akan diperoleh generasi baru yang berbobot sehingga bangsa dan negara akan
semakin berjaya di masa depan.
Perkembangan PTK dan Konsep
Dasarnya
Pada tahun 1946 seorang ahli
psikologi sosial di Amerika Serikat bernama Kurt Lewin mengembangkan jenis
penelitian tindakan (action research) untuk mengatasi berbagai
permasalahan di masyarakat. Penelitian tindakan adalah jenis penelitian yang
biasa dilakukan para ahli ilmu sosial untuk melakukan rekonstruksi sosial.
Dalam konsep yang umum ini
penelitian tindakan didefinisikan sebagai kajian tentang situasi sosial dengan
maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Seluruh prosesnya
–telaah, diagnostik, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengaruh–
menciptakan hubungan yang diperlukan antara evaluasi diri dan perkembangan
profesional (Elliot 1982:1).
Definisi di atas belum menggambarkan konsep penelitian tindakan
kelas (PTK) dalam arti yang sesungguhnya. Namun dalam definisi itu terungkap
hakikat dari penelitian tindakan, yaitu berupa kajian untuk meningkatkan
kualitas tindakan berdasarkan refleksi atas hasil evaluasi terhadap tindakan
tersebut.
Pendidikan adalah bagian dari
bidang kajian ilmu-ilmu sosial. Maka tidaklah heran jika kemudian penelitian
tindakan juga merambah dunia pendidikan. Penerapan jenis penelitian ini ke
dalam dunia pendidikan telah dimulai pada tahun 1952 oleh Stephen Covey. Sejak
saat itu implementasi penelitian tindakan dalam dunia pendidikan dan
pembelajaran semakin meningkat, sehingga mulailah dikenal istilah Classroom
Action Research (penelitian tindakan kelas) pada tahun 1976 di Amerika
Serikat.
Menurut Nurkamto (1999), penelitian
tindakan kelas (PTK) tidak lain adalah penelitian tindakan yang dilakukan di
kelas. Oleh karena itu, PTK merupakan perkembangan lebih lanjut dari jenis
penelitian tindakan yang berlaku umum di bidang ilmu-ilmu sosial.
Orang-orang yang kemudian
mengembangkan PTK dalam arti sebenarnya adalah Stephen Kemmis, Robin Mc
Taggart, John Elliot, dan Dave Ebbud. Keempat tokoh tersebut mengembangan model
siklus PTK masing-masing, sehingga dikenal adanya model Kemmis- Taggart, model
Elliot, model Ebbud, di samping ada model Mc Kernan. Semuanya memiliki keunikan
dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Namun pada dasarnya memiliki
kesamaan konsep dasar, bahwa PTK dilakukan dalam beberapa siklus (daur) dan
setiap siklus terdiri atas empat tahap kegiatan, yaitu perencanaan,
pelaksanaan, observasi, dan refleksi.
Hingga saat ini, model penelitian
ini berkembang pesat di negara-negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat,
Australia, dan Kanada (Suyanto 1996). Penelitian tindakan kelas ini tidak lain
adalah penelitian tindakan yang sumber datanya berupa proses pembelajaran di
kelas. Tujuannya untuk memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. Oleh
karena itu, PTK kemudian didefinisikan antara lain sebagai (1) suatu bentuk
penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu
agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di
kelas secara profesional (Suyanto 1997), dan (2) suatu bentuk penelitian yang
dilaksanakan oleh guru untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam
melaksanakan tugas pokoknya, yaitu mengelola pelaksaan kegiatan belajar
mengajar (KBM) dalam arti luas (Purwadi 1999).
Kedua definisi di atas lebih mudah
dipahami dan lebih bisa menggambarkan bagaimana proses pelaksanaan PTK yang
sebenarnya di kelas. Dari definisi itu kita dapat memahami empat hal penting
yang merupakan konsep dasar PTK.
Pertama, PTK berorientasi untuk
memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Masalah itu diidentifikasi oleh guru
dalam melaksanakan tugas mengajar sehari-hari di kelas itu dan diupayakan
pemecahannya oleh guru itu. Dalam proses ini guru dapat melibatkan pihak lain
sehingga terjadi kolaborasi.
Kedua, PTK merupakan refleksi
terhadap proses pembelajaran. Artinya, penelitian itu dilaksanakan dengan cara
memberikan tindakan tertentu. Hasil tindakan itu dievaluasi dan dijadikan bahan
renungan (refleksi) untuk memperbaiki kualitas pembelajaran selanjutnya. Ini berbeda
dengan penelitian formal yang tujuannya hanya bersifat mencari tahu apa yang
terjadi di kelas. Walaupun penelitian formal (eksperimental, korelatif,
dekskriptif, dll.) dilaksanakan di kelas, bukanlah penelitian tindakan kelas.
Penelitian tindakan kelas harus terdapat tindakan untuk memperbaiki kualitas
proses pembela-jaran dan hasilnya. Tindakan itu tidak lain adalah proses
pembelajaran yang dilakukan guru.
Ketiga, PTK dilaksanakan oleh
pelaku tindakan pembelajaran, yaitu guru yang mengajar di kelas tersebut. Hal
itu karena hanya guru yang mengajar di kelas tersebutlah yang mengetahui adanya
masalah di kelas yang dia ampu. Pada praktiknya, guru hanya boleh meneliti
pelaksanaan pembelajaran pada bidang studi yang dia ampu dan pada kelas yang
dia ajar. Dengan demikian hasilnya akan berdapak langsung kepada peningkatan
profesionalitasnya sebagai guru.
Keempat, PTK dilakukan dalam
beberapa daur (siklus) tindakan. Artinya, guru selaku peneliti melakukan
tindakan pembelajaran yang selalu diperbaiki kualitasnya pada setiap siklus
pembelajaran. Tindakan pada siklus pertama dikaji hasilnya, bila kurang bagus
selanjutnya diperbaiki dengan melakukan inovasi tindakan (bukan mengganti
tindakan) pada siklus pembelajaran kedua. Hasil tindakan kedua ini pun dikaji kembali
untuk melihat hasilnya. Begitu seterusnya sehingga diperoleh tindakan yang
terbaik, dan itu ditandai dengan optimalnya hasil dan atau proses pembelajaran.
Penerapan PTK di beberapa negara
diwarnai ciri khas tertentu. Misalnya, di Inggris dan Australia sama-sama
menekankan bentuk PTK kolaboratif. Walaupun di Inggris lebih berorientasi
kepada strategi, sedangkan di Australia mengutamakan peran guru dalam proses
penelitian.
Selama ini PTK sering
diidentifikasi sebagai penelitian kolaboratif, seperti yang terjadi di Inggris
itu. Sebenarnya, selain itu ada tiga bentuk lain, yaitu PTK yang berorientasi
guru sebagai peneliti, PTK yang bersifat simultan terintegrasi, dan PTK yang
berorientasi administrasi sosial eksperimental (Sukidin, dkk. 2008:54-58).
Penerapan PTK di Indonesia yang
bermula pada pada tahun 1994-1995 rupanya cenderung mengacu kepada bentuk
kolaboratif. Pada tahun-tahun tersebut Pemerintah memprogramkan pelaksanaan
penelitian kebijakan dan penelitian tindakan di jenjang Sekolah Dasar. Walaupun
baru tahun 1996-1997, upaya-upaya pelaksanaan PTK dalam arti sebenarnya
dilaksanakan di Indonesia.
Pada masa awal
sosialisasi PTK di Indonesia itu, pelaksanaannya ditekankan dalam bentuk
kolaborasi antara para pakar di perguruan tinggi dengan para guru di sekolah.
Kolaborasi itu terjadi sebagai akibat adanya proyek-proyek penelitian tindakan
kelas yang ditawarkan oleh Pemerintah kepada para dosen di perguruan tinggi.
Para dosenlah yang selama ini dianggap sebagai orang yang paling menguasai
metodologi penelitian, sementara guru di sekolah dianggap lemah dalam hal itu.
Akan tetapi, guru memiliki keunggulan dalam hal penguasaan situasi dan kondisi
kelas yang diampunya. Karenanya, kolaborasi antara dosen dan guru menjadi
saling melengkapi sehingga timbullah suatu pandangan bahwa PTK harus dilakukan
secara kolaboratif.
Kolaborasi seperti itu tampak dari
proposal-proposal PTK yang diajukan oleh para dosen kepada Pemerintah selaku
pihak yang membiayai penelitian. Komposisi tim peneliti biasanya terdiri atas
para dosen sebagai peneliti utama dan para guru sebagai anggota tim. Para guru
hanya ditempatkan sebagai pekerja lapangan, tugasnya hanya melaksanakan
rencana/ desain penelitian yang telah dibuat dosen.
Di sinilah kelemahan kolaborasi
dalam PTK model tersebut, yaitu identifikasi masalah dan perencanaan tindakan
yang dibuat dosen tidak mencerminkan kebutuhan nyata di kelas yang diteliti. Sehingga
hasilnya pun tidak banyak bermanfaat bagi perbaikan pembelajaran di kelas yang
diteliti. Apalagi, hasil penelitian menjadi milik dosen di perguruan tinggi
sehingga tidak secara langsung bermanfaat bagi perbaikan yang dapat dilakukan
guru.
Oleh karena itulah, kolaborasi seperti ini
kurang menguntungkan dan sudah waktunya para guru secara mandiri melakukan PTK.
Kalaupun masih ingin berkolaborasi sebaiknya dilakukan dengan teman sesama
guru/kepala sekolah/pengawas. Kolaborasi seperti itu kecuali dilandasi
pemahaman yang sama terhadap kebutuhan pembelajaran, juga bertujuan untuk
proses triangulasi data. Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data penelitian, caranya dengan membandingkan data dari sumber lain, metode,
penyidik, dan teori (Moloeng 2004:330). Dengan demikian hasil penelitian
menjadi lebih objektif.
Akhir-akhir ini banyak guru mulai mempelajari
metodologi PTK dan semakin lama semakin menguasainya. Apalagi prinsip-prinsip
pokok dalam semua jenis penelitian pada dasarnya sama. Sehingga pengalaman
melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian jenjang kesarjaan ketika kuliah
dulu mendukung sekali penguasaan para guru terhadap PTK. Guru hanya memerlukan
sedikit lagi belajar hal-hal yang berhubungan dengan ciri khas PTK. Hal ini
cukup menjadi alasan, bahwa PTK dapat dilakukan secara mandiri oleh guru.
PTK yang menempatkan guru sebagai pemeran utama
mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaannya merupakan bentuk yang
berorientasi kepada guru sebagai peneliti. Kalaupun melibatkan rekan sejawat,
fungsinya sebatas konsultatif. Karena guru mengidentifikasi sendiri ma-salah
yang dihadapi dan kemudian mencari pemecahannya dengan cara yang tepat, maka
hasilnya pun lebih bermanfaat bagi pelaksanaan tugasnya sehari-hari.
Apabila guru masih berperan penting sebagai
peneliti tetapi konsep dan rencana penelitiannya dirumuskan pihak luar
(pakar/dosen), maka PTK yang dilakukan berbentuk silmultan terintegrasi. Dengan
cara ini, hasil penelitian tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan praktis dalam
memperbaiki kualitas pembelajaran, tetapi juga untuk menghasilkan pengetahuan
ilmiah di bidang pembelajaran.
Sedangkan bentuk penelitian tindakan
administrasi sosial eksperimental sama sekali tidak melibatkan guru. Kelas yang
diampu guru hanya sekadar dijadikan lokasi atau sumber data. Rumusan masalah
dan hipotesis yang dijadikan dasar penelitian dibuat oleh peneliti dari luar
berdasarkan kebutuhan mereka untuk meningkatkan hasil pelaksanaan suatu
kebijakan dalam praktik pendidikan. Penelitin semacam ini biasanya dipesan oleh
Pemerintah dan dilaksanakan peneliti dari perguruan tinggi.
Model/Desain PTK
Secara umum langkah-langkah melaksanakan PTK
sama dengan pelaksanaan penelitian-penelitian lainnya. Penelitian dilakukan
untuk menjawab permasalahan yang telah diidentifikasi sebelumnya. Masalah itu
dijawab dengan merumuskan hipotesis yang dikembangkan berdasarkan kajian
teori-teori yang terkait dengan variabel yang diteliti. Hipotesis itu kemudian
diuji dengan data empirik yang dikumpulkan menggunakan instrumen yang relevan.
Terbukti atau tidaknya hipotesis itu merupakan temuan hasil penelitian.
Langkah umum seperti itu juga ditempuh dalam
PTK. Hanya saja masalah yang hendak dicari jawabannya dengan melakukan PTK
adalah masalah yang dialami dalam pembelajaran di kelas. Masalah-masalah itu
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu masalah yang berhubungan dengan (a)
prestasi/ hasil belajar siswa, dan (b) proses pembelajaran yang dilakukan guru.
Prestasi belajar siswa atau proses pembelajaran yang dilakukan guru dianggap
sebagai masalah jika tidak sesuai harapan (tidak ideal), dan oleh karenanya
perlu dicarikan solusi agar menjadi sesuai harapan.
Solusi terhadap masalah itu pada dasarnya
adalah memberikan tindakan perbaikan dalam pembelajaran. Tindakan perbaikan itu
diharapkan dapat memberikan pengaruh agar terjadi peningkatan prestasi belajar
siswa atau proses pembelajaran yang dilakukan guru menjadi lebih baik. Wujud
tindakan perbaikan pada dasarnya adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan
guru. Tindakan perbaikan itu berkaitan dengan implementasi salah satu atau
beberapa dari tujuh ini, yaitu (a) pendekatan, (b) strategi, (c) model, (d)
metode, (e) teknik, (f) penggunaan media, dan (g) penggunaan alat peraga
pembelajaran.
Dalam
satu daur/siklus tindakan terdapat empat tahap, yaitu perencanaan, tindakan,
observasi, dan refleksi.
Tahap Perencanaan
Perencanaan tindakan hanya dapat
dilakukan jika peneliti sudah mengientifikasi masalah yang hendak diteliti.
Hasil identiifkasi kemudian difokuskan ke arah satu masalah yang paling relevan
dengan peroalan yang dihadapi, sehingga diperoleh suatu rumusan masalah.
Masalah itulah yang dicari pemecahannya.
Cara-cara memecahkan masalah yang
akan ditempuh itu dijelaskan dalam perencanaan. Sebab, cara-cara pemecahan itu
merupakan wujud tindakan yang akan dilakukan peneliti (guru) dalam upaya
memecahkan masa-lah. Oleh karena tindakan yang akan dilakukan merupakan proses
pembelajaran, maka rencana itu dituangkan dalam bentuk RPP (rencana pelaksanaan
pembelajaran).
Tahap Pelaksanaan
Kegiatan ini pada dasarnya adalah
pelaksanaan proses pembelajaran di kelas. Pelaksanaan tindakan itu tidak lain
adalah upaya mencari solusi terhadap masalah yang telah dirumuskan. Proses
pelaksanaanya ditempuh sesuai dengan isi bagian langkah-langkah pembelajaran
dalam RPP. Peneliti melaksanakan tin-dakan (pembelajaran) mulai dari pembuka pelajaran
(penyampaian topik dan tujuan, serta pemberian apersepsi dan motivasi);
kegiatan inti (meliputi eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi); serta kegiatan
penutup (simpulan, refleksi pembelajaran).
Tahap Observasi
Pada dasarnya tahap observasi berupa
kegiatan untuk mengetahui hasil yang dicapai, baik hasil belajar maupun
perbaikan proses pembelajaran. Peneliti mengamati proses dan atau hasil
tindakan yang dilakukannya dengan menggunakan teknik tes maupun teknik nontes.
Semua bentuk tes bisa digunakan sesuai dengan data yang diinginkan. Teknik
nontes yang dapat digunakan bisa berupa angket, wawancara,
pengamatan/pemantauan, ceklis, dan kuesioner.
Tahap Refleksi
Data hasil obsevasi atau evaluasi
hasil tindakan kemudian dianalisis. Proses analisis meliputi tabulasi,
klasifikasi, kalkulasi, hingga interpretasi data. Karena PTK pada dasarnya
adalah meneliti proses dan hasil pembelajaran, maka data yang dikumpulkan
berupa nilai prestasi belajar siswa atau catatan perilaku, sikap, atau motivasi
siswa di kelas.
Kedua jenis data itu bisa
dikuatifikasi sehingga memudahkan analisis secara matematis. Prosesnya sama
dengan ketika guru menganalisis nilai hasil belajar siswa. Dari hasil analisis
itulah, guru sebagai peneliti dapat menyimpulkan apakah tindakan (pembelajaran)-nya
berhasil/meningkat atau belum.
Hasil refleksi ini akan menjadi
dasar perbaikan tindakan pada siklus/daur tindakan berikutnya. Bila belum
seperti yang diharapkan, maka guru/peneliti perlu merencanakan tindakan pada
siklus/daur kedua dan seterusnya. Siklus berikutnya itu meliputi empat kegiatan
di atas, hanya saja kualitas tindakannya disempurnakan (bukan diganti).
Pemberian tindakan perbaikan
siklus-siklus berikutnya tidak boleh mengubah hakikat penelitian ini menjadi
penelitian eksperimental atau penelitian korelatif. Oleh karena itu, tindakan
yang dilakukan pada siklus pertama dan berikutnya tidak boleh mengganti jenis
tindakan, tetapi berupa penyempurnaan tindakan yang telah diputuskan sebagai
solusi pemecahan masalah.
Dalam pelaksanaan PTK tidak ada
batasan tegas berapa siklus yang harus ditempuh. Hanya saja, beberapa rambu ini
dapat dijadikan patokan untuk menentukan banyaknya siklus tindakan adalah (1)
minimal dua siklus, karena pada siklus kedua itulah terjadi perbaikan tindakan
atas kekurangberhasilan pada siklus pertama; (2) bila terlalu banyak siklus,
akan mengganggu alokasi waktu pembelajaran yang telah ditetapkan dalam program
semester, padahal salah satu prinsip dasar PTK adalah tidak boleh mengganggu
tugas sehari-hari guru; dan (3) bila terlalu banyak siklus pertanda hipotesis
tindakan yang dirumuskan berpeluang besar tidak akan terbukti, maka lebih baik
dirumuskan hipotesis baru yang otomatis mengubah jenis tindakan yang akan
dilakukan.
Uraian singkat di atas menunjukkan
adanya perbedaan PTK dengan jenis penelitian lain pada umumnya, walaupun secara
metodologi prosesnyanya hampir sama. Sukidin, dkk. (2008:27) mendeskripsikan
adanya delapan perbedaan, yaitu pada motivasi peneliti, sumber masalah, tujuan
penelitian, keterlibatan pelaku penelitian, sumber data (sampel), metodologi,
interpretasi temuan, dan hasil akhir penelitian.
Intinya, PTK dodorong oleh
kebutuhan untuk melakukan tindakan perbaikan, sedangkan penelitian non-PTK
lebih mengutamakan pencarian kebenaran ilmiah. Masalah yang diteliti dalam PTK
bersumber dari upaya untuk mendiagnosis proses pembelajaran dan berupaya
memperbaiki kekurangan yang terjadi. Sementara itu penelitian non-PTK berupaya
untuk menjawab permasalahan dengan cara memverifikasi data untuk membangun
pengetahuan secara deduktif atau induktif. Oleh karena itu, pelaku PTK (guru)
terlibat dalam proses tindakan, sementara itu peneliti non-PTK seolah-olah
seorang penonton sepak bola yang berdiri di luar lapangan.
Sumber data PTK adalah kasus pembelajaran
dalam sebuah kelas, sedangkan penelitian non-PTK mengambil data dari sampel
yang mempresentasikan populasi yang lebih luas. Metodologi dalam PTK lebih
longgar namun tetap mengutamakan objektivitas, tidak seperti dalam penelitian
non-PTK yang telah terstandardisasi dengan ketat.
Temuan/hasil
PTK berupa pemahaman praktik pembelajaran melalui proses refleksi kegiatan
pembelajaran, bukan untuk membangun teori/ pengetahuan sebagaimana dilakukan
seorang ilmuwan. Pada akhirnya, PTK dilakukan untuk membuat siswa/kelas dapat
belajar lebih baik dan proses pembelajaran yang dilakukan guru juga semakin
baik. Bukan seperti penelitian non-PTK yang hanya bersifat menguji pengetahuan,
perosedur, atau hal-hal lain yang yang ingin
diketahui peneliti, tetapi tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik.
Penutup
Berdasarkan
uraian di atas penulis menekankan pentingnya para guru merevolusi diri untuk
menjadi lebih baik, khususnya dalam upaya meningkatkan kemampuan mengajar. Revolusi itu hanya mungkin dilakukan oleh guru sendiri dengan
tekad penuh untuk mengubah diri. Dorongan eksternal terbukti kurang efektif,
sebagaimana kecilnya tindak lanjut dari berbagai pelatihan formal selama ini.
Berbagai pelatihan formal hanya mungkin berhasil mengubah kompetensi guru jika
pelatihan itu dapat membangkitkan motivasi internal guru untuk berubah.
Salah satu jalan yang dapat
dilakukan adalah dengan rutin melakukan penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam
PTK itulah proses revolusi kemampuan mengajar yang sesungguhnya terjadi. Sebab,
guru berproses mulai dari mengidentifikasi permasalahan pembelajaran yang
dihadapi secara langsung di kelas, lalu berusaha memperbaikinya dengan
penelitan tindakan. Apalagi dalam proses itu guru dituntut pula untuk membaca
berbagai sumber pustaka rujukan terbaru sehubungan dengan masalah pembelajaran
yang diteliti. Hal itu akan membuat pengetahuannya menjadi terus berkembang dan
terbarui mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan di bidang tugasnya.
Tuntutan tugas mengajar sudah
menjadi keniscayaan dalam diri seorang guru. Masyarakat berharap penuh terhadap
peran guru sebagai fasilitator pembe-lajaran bagi putra-putri mereka. Di tangan
gurulah masa depan anak-anak bangsa ini berada, sebab pendidikan merupakan
tangga untuk menuju tingkat kehidupan yang lebih baik di masyarakat.
Sejalan dengan tuntutan masyarakat
selaku pemakai jasa pendidikan, pemerintah pun telah membangun sistem
pengembangan profesi guru secara lebih menantang. Dalam sistem itu guru dtuntut
selalu berupaya mengembangkan kompetensi profesionalitasnya. Berbagai bentuk
upaya ke arah itu diberi penghargaan berupa angka kredit dan sertifikasi. Angka
kredit dikaitkan langsung dengan pemberian penghargaan yang berwujud kenaikan
pangkat dan bertambahnya pendapatan guru (kesejahteraan). Begitu pula dengan
sertifikasi.
Sebaliknya, guru yang tidak
berusaha meng-up grade dirinya, maka semakin lama akan tersisih dalam
sudut-sudut pinggir profesinya. Tentu tidak seorang guru pun akan menyukai
posisi terpinggirkan itu.
Oleh karena itulah, penulis
menyarankan perlunya diadakan Gerakan Guru Sebagai Peneliti. Ide ini bukan hal
baru, karena telah dicetuskan para pakar pengembang PTK di negara-negara maju.
Gerakan itu akan membuat para guru rutin dan rajin melakukan PTK demi
memperbaki kualitas kemampuan mengajar-nya. Tentu saja gerakan itu perlu
dukungan semua pihak, terutama Dinas Pendidikan dan sekolah-sekolah tempat para
guru bertugas. Fasilitasi dalam bentuk regulasi maupun iklim yang kondusif
untuk merangsang para guru merevolusi kompetensi mengajarnya amat sangat
diharapkan. Jangan sampai kesadaran para guru yang tumbuh untuk meng-up
grade dirinya hanya dipandang sebelah mata oleh instansi-instansi otoritas
pendidikan yang seharusnya aktif mendorong, memfasilitasi, dan menghargai gerakan
itu.
Daftar Pustaka
Carr, W & Kemmis, S.1983. Becoming Critical: Education,
Knowledge, and Action Research. Gelong, Victoria, Australia: Deakin
University.
John, Elliot. 1982. Action Re-search for Educational
Change. Philadelphia: Open University Press.
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 025 Tahun
1995 tentang Petunjuk Teknik Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya.
Moloeng, lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung: Rosda.
Mulyono, HP. 2010. ‘Permasalahan dalam PTK Bab I Pendahuluan’.
Presentasi Pelatihan PTK dalam Forum Teaching Clinic Diselenggarakan oleh Dinas
Pendidikan Jawa Tengah (tidak dipublkasikan).
Peraturan Menteri Negara Pen-dayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan
Angka Kreditnya.
Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang:
Badan Penerbitan Universitas Diponegoro.
Sukidin, dkk. 2008. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya:
Insan Cendekia.
Suyanto. 1997. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas
(PTK). Jakarta: BP3SD, Dirjen Dikti, Depdikbud.
Undang-undang RI Nomor 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen.
Jurnal ini
diambil dari Jurnal EDUKASI Hal. 1-7 Vol. 01 Tahun I - September 2013
No comments:
Post a Comment
Bagi para pengunjung web ini, diharapkan untuk memberikan komentar, kritik atau saran demi semakin baiknya kualitas web yang dikelola admin. Jika ada yang berniat untuk mengkopi artikel harap menuliskan sumbernya, berupa URL artikel yang dicopy. Jika ada yang ingin artikelnya ditampilkan di web ini harap mengirimkan ke orangelifes@gmail.com.