Breaking News
recent

Saat Khitbah Berubah Menjadi Masalah


Khitbah adalah salah proses yang sangat penting dalam islam, karena khitbah adalah salah satu langkah menuju gerbang pernikahan. Khitbah sendiri adalah proses meminang seorang perempuan untuk dijadikan istri. Dengan adanya khitbah seseorang dapat saling mengenal satu dengan yang lainnya. Namun tak semua orang tahu dan faham masalah khitbah, sehingga khitbah berubah menjadi masalah.

Wali Memilihkan Suami
Salah satu tugas seorang wali adalah memilihkan suami bagi putrinya. Seorang wali tidak boleh menikahkan putrinya kecuali dengan pria yang baik akhlaknya, yang dapat bergaul baik dengan putrinya dan tidak melakukan kedhaliman kepada putrinya. Ada seorang laki-laki yang datang kepada Al-Hasan bin Ali dan bertanya, “Sesungguhnya aku mempunyai seorang anak perempuan, menurut pendapatmu dengan siapa aku kawinkan dia ?” Al-Hasan menjawab, “Kawinkan dia dengan laki-laki yang bertakwa kepada Alloh. Jika ia mencintainya, ia tidak berbuat dhalim kepadanya

Tidak Sah Tanpa Wali
Wali adalah orang yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan. Dan sebuah pernikahan tidak sah jika tidak ada izin dari wali dari seorang perempuan. Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

"Tidak sah pernikahan tanpa seorang wali." (Muwatha’ Imam Malik)

Wali yang paling utama adalah ayah, kemudia kakek (ayah dari ayah), saudara seayah dan seibu atau seayah, kemudian anak lelakinya dan ashabah-ashabah lainnya.

Diamnya = Persetujuannya ?
Dalam pernikahan, seorang wali hendaknya meminta pendapat dari perempuan yang akan dinikahkan, baik janda maupun perawan. Dan tanda setujunya dari perempuan jika berdasarkan hadis adalah diamnya. Untuk Dari Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

"Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya. Perawan diminta restunya dalam perkawinan, sedangkan restunya adalah diamnya." (HR. Muslim)

Dari Abdullah bin 'Abbas bahwa Rasululloh Shallallohu 'alaihi wa sallam bersabda

الْأَيِّمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

"Seorang janda itu lebih berhak memilih suami daripada walinya sedang seorang gadis harus dimintai persetujuannya, dan tanda persetujuannya adalah sikap diamnya." (Muwatha’ Imam Malik)

Yang menjadi masalah adalah, apakah dengan diamnya adalah tandanya mereka setuju dengan pernikahan tersebut ? Bagi perempuan zaman sekarang, tak selamanya diam adalah tanda setujunya, kadang diamnya adalah karena dia tidak tahu harus berkata apa dengan pernikahan tersebut (dia merasa bingung dan tidak dapat menjawabnya), kadang dia diam karena dia telah mempunyai seorang pria yang telah mengisi hatinya tapi dia belum mengungkapkan kepada walinya, kadang diamnya adalah penolakannya, namun karena tidak berani mengungkapkannya untuk sementara waktu dia lebih memilih diam terlebih dahulu. Dan masih ada lagi arti diamnya seorang perempuan.

Orang Tua Tidak Boleh Memaksa
Sekarang masih ini ada orang tua atau wali yang memaksa anaknya dengan orang yang menjadi pilihannya. Mereka memaksa anaknya untuk menikah dengan pilihannya tersebut, mau tidak mau harus mau. Perilaku seperti ini dilarang dalam islam

عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهْيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهُ

Dari Khansa` binti Khizam Al-Anshariyyah bahwa bapaknya menikahkannya saat ia janda, lalu ia pun tak suka. Lalu ia pun mendatangi Rasululloh shallallohu 'alaihi wa sallam, maka beliau pun menolak pernikahannya. (HR. Bukhari)

Jangan pernah memaksa seorang perempuan untuk memilih pria yang telah dipilihkan oleh orang tua atau walinya karena mungkin suatu saat akan membawa dampak yang buruk. Sekedar berbagi saja, ada sebuah pernikahan yang hancur gara-gara adanya indikasi pemaksaan oleh orang tua. Saat prosesi pernikahan berlangsung, dimana semua orang sibuk menjamu dan melayani tamu, ketika semua sudah siap dan prosesi pernikahan akan berlangsung, tanpa disangka-sangka, sang mempelai perempuan tidak ada dikamarnya, dan telah melarikan diri dari rumah calon suaminya. Sedangkan yang kedua ketika pernikahan sudah selesai dan tiba waktunya malam pertama, sang perempuan hanya memberi dua pilihan, dia tidur dikamar, sedangkan suaminya tidur diluar atau dia tidur diluar dan suaminya tidur dikamar, dengan kata lain sang perempuan tidak mau tidur bersama dengan pria yang baru saja menikahinya. Jika terjadi peristiwa seperti ini lantas siapa yang harus disalahkan sang perempuan atau orang tuanya? Jika ada malaikat yang melaknat hingga shubuh, siapakah yang harus dilaknat, si istri atau orang tuanya yang telah memaksanya untuk menikah dengan pria yang tidak dicintainya ? Sebelum menikahkan wanita alangkah baiknya kita meminta izinnya terlebih dahulu, jangan sampai khitbah berubah menjadi masalah. yang harus diingat adalah restu ada ditangan orang tua atau wali, izin ada ditangan wanita.

Wallohu a’lam bishshowab

Referensi :
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. 2006. Fiqih Ibadah Dari Minhajul Muslimin. Solo : Media Insani Publishing
Ibrahim Muhammad Al-Jamal. 1999. Fikih Muslimah : Ibadat – Mu’amalat. Pustaka Amani : Jakarta.
M. Nashirudin Al-Albani. 2005. Ringkasan Shahih Bukhari. Jakarta : Gema Insani Press
M. Nashirudin Al-Albani. 2005. Ringkasan Shahih Muslim. Jakarta : Gema Insani Press
http://selingkaran.com/wp-content/uploads/2014/10/cincin-tunangan-03.jpg

No comments:

Post a Comment

Bagi para pengunjung web ini, diharapkan untuk memberikan komentar, kritik atau saran demi semakin baiknya kualitas web yang dikelola admin. Jika ada yang berniat untuk mengkopi artikel harap menuliskan sumbernya, berupa URL artikel yang dicopy. Jika ada yang ingin artikelnya ditampilkan di web ini harap mengirimkan ke orangelifes@gmail.com.

Powered by Blogger.