“Jam berapa ma…?”
“Udah jam 6 sayang… cepet bangun donk!”
“Haah… ntar kan waktunya Pak Supri, bisa mampus
gue? Belum ngerjain lagi.”
Reni segera bangun dan berlari menuju kamar
mandinya. Dia merasa sangat bingung sebab belum ngerjain PR, apa lagi PR yang
diberikan Pak Supri, bisa-bisa dia diusir dari kelas atau disuruh berdiri di
depan teman-temannya sampai pelajaran selesai. Sepuluh menit kemudian, dia
keluar dari kamar mandi dan segera memakai seragam sekolahnya, lalu berdandan
ala kadarnya saja biar nggak terlihat dekil.
“Ma! Reni berangkat dulu.”
“Nggak sarapan, Ren?”
“Nggak aja dech ma, udah telat.”
Reni segera berlari dan berlomba dengan waktu, ia
sangat tergesa-gesa agar cepat sampai di terminal dan mendapatkan angkot.
Nafasnya terengah-engah, keringat mulai mengucur dari dahinya dan degupan
jantungnya serasa terdengar sampai telinganya. Ia segera mengeluarkan tisu dari
balik tasnya dan mengusap tetesan keringat di wajahnya, lalu dia menyemprotkan
parfum di bajunya.
Reni begitu bingung, di depannya tidak ada angkot
lagi. Jika dia tidak masuk sekolah, maka dia akan mendapat skorsing lagi, sebab
ini merupakan yang kedua kalinya. Ia berfikir mungkin ini sudah menjadi
nasibnya. Dalam kebingungannya, tanpa ia sadari, di depannya ada sebuah angkot
yang telah berhenti dan menunggunya.
“Mbak! Mau naik nggak?”
Reni langsung tersentak dan sadar dari lamunannya,
“Haah… apa mas?”
“ih… cantik-cantik kok gangguan telinga, mau naik
nggak? Kalau nggak aku tinggal!”
“Tapi kan sudah penuh mas, terus saya mau naik
dimana?”
“Ya berdiri donk! Tu kalau mau, kalau nggak mau ya
udah!”
“Iya-iya dech, dari pad ague diskors lagi!”
Reni segera berjalan melangkah masuk ke dalam
angkot, kali ini memang nggak ada pilihan. Mau nggak mau dia harus naik angkot
sambil berdiri, karena saat ini, hanya pilihan itu saja yang terbaik bagi
dirinya. Ia menapakkan kakinya dan segera masuk ke dalam angkot tanpa semangat.
Pandangan matanya segera menangkap wajah para penumpang yang ada di sekitarnya.
Ia memandangnya satu per satu, dan pada akhirnya berhenti pada wajah seorang
pemuda cakep yang berada di sampingnya. Ia mengamatinya dengan serius, lalu
pemuda tersebut tiba-tiba menjatuhkan pandangannya padanya, Reni jadi agak
malu.
“Silahkan duduk mbak” Pemuda tersebut tersenyum
pada Reni
“Duduk? Dimana mas? Kan sudah penuh”
“Ya disini donk! Masak sama sopir”
“Maksudnya aku duduk disitu? Ditempatnya mas?”
“Iya, kamu duduk disini, biar aku yang berdiri”
“Nggak enak mas, itu kan tempat dudukmu! Lagian aku
nggak mau ngrepotin orang lain.”
“Udah nggak usah sungkan, aku ikhlas kok”
Tanpa meminta izin, pemuda tersebut langsung
menyeret tangan Reni dengan paksa. Reni merasa kaget dan “Breek” dia jatuh ke
dada pemuda tersebut. Dia merasa jantungnya berdebar-debar saat berdekatan
dengan pemuda tersebut, dia merasa ada getaran aneh dalam hatinya dan dia nggak
ingin jauh dari dirinya. Perlahan-lahan mereka pun bangun
“Maaf kalau aku nggak sopan, tapi silahkan duduk
sekarang, biar aku berdiri saja”
“Makasih, aku yang salah kok!” Sambil duduk di
tempat pemuda tersebut
“oh… sampai lupa, aku Doni”
“Aku Reni” Dia agak tersipu malu
“Ngomong-ngomong, kok jam segini masih berangkat?
Apa nggak telat?”
“Ya telat sich, habis tadi malam nglembur tugas?”
“Kayak kerjaan aja dilembur, emang banyak tuganya?”
“Ya lumayan sich, bias buat otak mendidih”
“Makanya kalau punya PR cepet dikerjain biar nggak
numpuk”
“Kemarin diajak main temen sampai sore, trus lupa
ada PR, ya gini jadinya!”
“Kamu ambil jurusan apa IPA, IPS, bahasa atau
matematika?
“Aku ambil matematika, tapi ternyata sangat sulit”
“Jelas aja, emang kamu nggak tahu, apa matematika
itu?”
“Nggak mas, emang apaan?”
“Matematika itu, makin tekun, makin tidak karuan.
Liaht saja, anak-anak yang ngambil jurusan matematika pasti mereka sering
pusing dan nggak karuan, yak an?”
“oh… mas ini ada-ada saja” Reni tertawa renyah
“Kenapa kamu nggak ambil jurusan yang lain?”
“Nggak kenapa-kenapa, cuma males aja, nggak ada
tantangannya.”
“Wuiihh berarti kamu jago matematika donk?”
“Ye… salah besar mas. Aku ini lho paling nggak
bisa. Aku ngambil matematika karena aku nggak bisa sama sekali.”
“Oh… jadi kamu pengen bisa matematika gitu?”
“Yaap!”
“ehm… emangnya kamu sekolah dimana?”
“Di SMA 6, ada apa sich mas? Kok kayaknya ada suatu
hal yang aneh”
“Bukannya SMA 6 ada di jalan Jendral Sudirman,
selatan jalan?”
“Kok mas tahu, pernah kesana yach atau lulusan sana
juga?”
“Nggak gitu, sekolahannya udah lewat, tu!” Sambil
menunjuk SMA 6
“haah…” Reni merasa seperti orang bodoh saat tahu
telah lewat sekolahannya
“Pak sopir, berhenti” Reni menyerahkan uang pada
kenek angkot
“Mas sampai jumpa lagi yach, see you”
“Yuck” sambil tersenyum pada Reni
Reni segera turun dari angkot, dia berlari-lari
menuju sekolahnya. Kali ini dia akan mendapat hukuman lagi dari Pak satpam
karena terlambat, namun disisi lain Reni juga bahagia. Jika dia tidak
terlambat, mungkin dia nggak akan bertemu dengan pemuda ganteng yang bernama
Deni. Sambil tersenyum mengingat wajah Deni, Reni terus berlari agar cepat
sampai di sekolahan.
Referensi :
Cerpen Oleh John Engkol
http://cdn.johnywheels.com/2016/04/06/2011bumblebeecamaro-l-1838aea9c5b8a6d7.jpg
No comments:
Post a Comment
Bagi para pengunjung web ini, diharapkan untuk memberikan komentar, kritik atau saran demi semakin baiknya kualitas web yang dikelola admin. Jika ada yang berniat untuk mengkopi artikel harap menuliskan sumbernya, berupa URL artikel yang dicopy. Jika ada yang ingin artikelnya ditampilkan di web ini harap mengirimkan ke orangelifes@gmail.com.