Breaking News
recent

Kala Wanita Terpaksa Berumah Tangga

Berumah tangga harus dilakukan dengan suka rela dan atas dasar suka sama suka antara calon pasangan. Keduanya harus dipastikan saling mencintai terutama dari pihak perempuan, karena biasanya pihak perempuan yang sering mendapatkan tekanan agar mau menikah. Dan ini sudah sering terjadi sejak dahulu.

Kedua Pasangan Harus Setuju
Sebuah pernikahan yang menjalani adalah calon mempelai, bukan orang tuanya atau saudaranya sehingga kedua pasangan harus dipastikan saling mencintai atau sama-sama ridho dengan pernikahan tersebut. Dalam pasal 6 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. Syarat pernikahan pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan agar setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga dalam perkawinan. Hal ini juga dimaksudkan untuk melindungi hak-hak wanita yang sering menjadi korban atas keegoisan keluarganya.

Seorang wanita wajib dimintai persetujuannya jika wanita tersebut akan dinikahkan dengan lelaki pilihan keluarganya. Dalam kitab Shahihain, wanita tidak boleh dminikahkan sebelum dimintai izin

لَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ

Gadis tidak boleh dinikahkan sampai dia dimintai izin.” (HR. Bukhari & Muslim).

Ada hal yang harus diketahui oleh seorang lelaki bahwa alangkah baiknya dia menanyakan izin kepada calon istrinya perihal pernikahannya tersebut, apakah dia mau menikah atau tidak ? Jika pernikahannya merupakan hasil perjodohan keluarganya. Jika wanitanya setuju dan mau menikah tidak jadi masalah, dan jika wanitanya tidak mau lebih baik pernikahannya dibatalkan jika belum terjadi ijab qobul. Jangan sampai wanita menikah karena terpaksa karena hal ini akan menyakiti calon istrinya.

Bolehkah Wanita Menolak ?
Sering kali wanita dipaksa menolak menikah karena dipaksa oleh orang tuanya atau oleh keluarganya. Dan jika ingin menolak ada beberapa yang beralasan menolak keinginan orang tua adalah perbuatan durhaka.

Memaksa wanita menikah dengan lelaki pilihan kelurganya adalah perbuatan yang salah dan menolaknya bukanlah perbuatan dosa. Bahkan sahabat pada zaman dahulu pun juga ada yang menolak untuk dinikahkan dan Rasululloh pun juga menolak untuk menikahkannya.

Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, ‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)
 
Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallohu ‘anhu mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ

“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mengadu, ‘Ayahku menikahkanku dengan anak saudaranya untuk menghilangkan kehinaan yang ada padanya dengan pernikahanku tersebut’, ujarnya. Nabi Shallallohu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan padanya (apakah meneruskan pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah, menurut Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)

Ketika ditanya tentang hukum orang tua yang memaksa anaknya menikah dengan orang yang tidak dicintainya, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjawab, “tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut”. (Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat)

Sedangkan terkait peristiwa orang tua memaksa anaknya untuk menikah, Syaikhul Islam  beliau mengatakan “Menikahkan anak perempuan padahal dia tidak menyukai pernikahan itu, adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip agama dan logika sehat. Allah tidak pernah mengizinkan wali wanita untuk memaksanya dalam transaksi jual beli, kecuali dengan izinnya. Demikian pula, ortu tidak boleh memaksa anaknya untuk makan atau minum atau memakai baju, yang tidak disukai anaknya. Maka bagaimana mungkin dia tega memaksa anaknya untuk berhubungan dan bergaul dengan lelaki yang tidak dia sukai berhubungan dengannya. Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang diantara pasangan suami istri. Jika pernikahan ini terjadi dengan diiringi kebencian si wanita kepada suaminya, lalu dimana ada rasa cinta dan kasih sayang??” (Majmu’ Fatawa, 32/25).

Bagaimana Status Penikahannya ?
Status pernikahan yang dijalani oleh wanita yang dipaksa untuk menikah dengan orang yang tidak dicintainya tergantung dengan kerelaan atau izin dari wanita tersebut. Jika wanita tersebut sudah rela maka akadnya sah dan jika wanitanya tidak rela maka akadnya tidak sah.

Buraidah bin Hashib radhiyallohu ‘anhu menceritakan, Ada seorang wanita yang mengadukan sikap ayahnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan, “Ayahku memaksa aku menikah dengan keponakannya. Agar dia terkesan lebih mulia setelah menikah denganku.” Kata sahabat Buraidah, “Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam menyerahkan urusan pernikahan itu kepada si wanita.

Kemudian wanita ini mengatakan,

قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي ، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ إِلَى الْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ

Sebenarnya aku telah merelakan apa yang dilakukan ayahku. Hanya saja, aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa ayah sama sekali tidak punya wewenang memaksa putrinya menikah. (HR. Ibn Majah)

Menurut pendapat beberapa ulama ketika wanita tidak ridha dan rela dengan pernikahannya, maka wanita tersebut dilarang untuk berdua-duan dengan suaminya dan begitu juga sebaliknya. Jika berduaan saja dilarang berarti mereka juga dilarang untuk berhubungan badan karena status pernikahannya tidak sah.

Tidak Langsung Otomatis Pisah
Dalam kasus wanita dipaksa menikah dengan lelaki pilihan keluarganya atau orang yang tidak dicintainya, maka pernikahannya tidak otomatis langsung terpisah. Jika mereka ingin berpisah, maka suami harus mengeluarkan talak atau wanita tersebut mengngugat lewat pengadilan dan hakim yang menceraikan mereka.

إذا لم ترض بهذا الزواج ، فترفع أمرها إلى المحكمة ، لتثبيت العقد أو فسخه

Jika dia tidak rela dengan pernikahannya, dia bisa mengajukan masalahnya ke pengadilan, untuk ditetapkan apakah akadnya dilanjutkan ataukah difasakh.” (Fatwa Lajnah, 18/126)

Referensi :
Adhim, Mohammad Fauzil, 2007. Kado Pernikahan Untuk Istriku. Yogyakarta : Mitra Pustaka.
Afra, Afifah dkk, 2008. Awas Kesetrum Cinta. Surakarta : Afra Publishing.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2005. Mukhtashar Shahih Bukhari, Terjemahan : Elly Lathifah, cetakan pertama. Jakarta : Gema Insani Press
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2005. Mukhtashar Shahih Muslim, Terjemahan : Elly Lathifah, cetakan pertama. Jakarta : Gema Insani Press
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2008. Mukhtashar Shahih Bukhari. Versi chm
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2008. Mukhtashar Shahih Muslim. Versi chm
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, 2008. Shahih Sunan Ibnu Majjah. Versi chm
Al-Asyqar, Umar Sulaiman, 2005. Maqaashidul Mukallafin (1) : An-Niyyat Fil Ibadaat, Terjemahan : Faisal Shaleh, cetakan pertama. Jakarta : Gema Insani Press
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, 1999. Fiqhul Mar’atil Muslimah, Terjemahan : Zaid Husein Alhamid, cetakan ketiga. Jakarta : Pustaka Amani
An-Nu’aimi, Thariq Kamal, 2000. Saikulujiyyah Ar-Rajul Wa Al-Mar’ah : Ahdatsu Diratsah Ilmiyyah Haula Al-Musykilah Az-Zaujyyah : Asbabuha Wa Thuruq ‘Illajiha, Terjemahan : Muh. Muhaimin, cetakan pertama. Yogyakarta : Mitra Pustaka
Hamid, Muhammad Abdul, 2004. Makanah Al-Mar’ah Fi Al-Islam, Terjemahan : Pahruroji dan Syarwani, cetakan pertama. Yogyakarta : Diva Press
Kan’an, Syekh Muhammad Ahmad, 2006. Mabadi Al-Mu’asyarah Az-Zaujiyyah, Terjemahan : Ali Muhdi Amnur, cetakan kedua. Yogyakarta : Mitra Pustaka
https://konsultasisyariah.com/25364-nikah-paksa-tidak-sah.html
http://www.dakwatuna.com/2007/03/25/135/hukum-menikah-dengan-orang-musyrik-dan-ahlul-kitab/#ixzz4O9iBXfEG
https://konsultasisyariah.com/10873-menolak-jodoh-dari-orang-tua.html
https://muslimah.or.id/6506-hukum-perjodohan-ala-siti-nurbaya.html
http://static1.1.sqspcdn.com/static/f/803157/23202046/1375126930780/when_to_marry.jpg?token=NiyA0%2BxHx3FcMRltKSqtaXM97cE%3D

No comments:

Post a Comment

Bagi para pengunjung web ini, diharapkan untuk memberikan komentar, kritik atau saran demi semakin baiknya kualitas web yang dikelola admin. Jika ada yang berniat untuk mengkopi artikel harap menuliskan sumbernya, berupa URL artikel yang dicopy. Jika ada yang ingin artikelnya ditampilkan di web ini harap mengirimkan ke orangelifes@gmail.com.

Powered by Blogger.